Kota Temanggung dalam Kenangan
dan Perjuangan
Taukah anda
kabupaten Temanggunag bnyak menyimpan bangunan lama serta pusaka peninggalan
zaman Belanda. Pusaka yang terdapat di Kabupaten Temanggung ini adalah pusaka
Temanggung dan pusaka Parakan. Sama halnya dengan Yogyakarta dan Magelang di
Temanggung ini juga sempat bermukim orang-orang Belanda serta terjadi agresi
pasca Kemerdekaan RI.
Pertama,
dimulai dari pintu masuk Kabupaten Temanggung. Terdapat Wisma Soemodilogo, yang
terletak di Jalan Kanjengan C-3 desa/kecamatan Kranggan. Saat ini bangunan kuno
ini digunakan sebagai wisma dan tempat pertemuan yang dikelola oleh Yayasan
Keluarga Soemodilogo. Pada zaman Belanda dulu wisma ini merupakan tempat
tinggal Bupati Temanggung ketiga (1848-1878) Ario Holland Soemodilogo.
Kedua,
setelah dari desa Kranggan menuju ke Kali Progo yang membelah kota Temanggung
ini, tepatnya di desa Jumprit, kecamatan Ngadirejo. Sungai atau kali progo ini
juga mengalir menyusuri Magelang, Sleman, Kulonprogo, dan Bantul dan berhulu di
Samudera Hindia. Sekitar tahun 1948-1949 sungai ini pernah berwarna merah
karena mengalirkan darah para pejuang. Kejadian ini tepatnya terjadi di atas
jembatan progo yang dibangun pada tahun 1900. Jembatan ini menjadi saksi bisu
peristiwa pembantaian terhadap para pejuang pada saat agresi Belanda. Dari atas
jembatan progo ini pejuang dibantai dan dilempar ke sungai. Sehingga pada
Desember 1948 kota Temangguna dikuasai Belanda, pada saat itu pasukan KNIL di
bawah pimpinan Van Der Zee yang melakukan penangkapan besar-besaran kepada
siapa saja yang dicurigai sebagai pejuang dan akhirnya dibantai.
Ribuan korban
berjatuhan dari atas jembatan progo ini sehingga setiap hari Pahlawan yakni
tanggal 10 November diadakan upacara di tempat ini. Tidak jauh dari jempatan progo
ini terdapat taman makam Pahlawan. Di ujung kiri jembatan dari timur terdapat
Prasasti yang bunyinya “Aku ta’ ketewa….. Aku rela ……..mati untuk tjita2 sutji
nan mulja Indonesia Merdeka, Adil, Makmur, Bahagia. Temanggung, 22/12/48.
Ketiga,
bangunan lama yang sekarang beralih fungsi menjadi stasiun Temanggung terletak
di Banyuurip, Temanggung. Stasiun ini masuk wilayah Daerah Operasi (Daop)
Wilayah VI Yogyakarta. Stasiun ini dibangun 1907 oleh Nederlands Indische
Spoorweg Maatscappij (NIS), yang merupakan perusahaan kereta api Hindia Belanda
untuk angkutan penumpang dan tembakau di Temanggung. Stasiun ini dahulu
merupakan salah satu stasiun besar di jalur kereta api Secang-Parakan. Namun
tahun 1973 stasiun dan jalur ini secara resmi ditutup. Setelah ditutup sebagian
bangunan di bongkar dan dijadikan tempat tinggal. Saat ini bekas stasiun telah
diubah namanya menjadi Gedung Juang 45 dan menjadi kantor secretariat Persatuan
Purnawirawan ABRI (Pepabri).
Selain
stasiun Temanggung yang juga ditutup dan dialih fungsikan, stasiun parakan juga
bernasip sama. Stasiun kereta api ini berada di Campursalam, Parakan, masuk
wilayah terminal, stasiun ini terletak di wilayah Daop Wilayah VI Yogyakarta.
Dulu stasiun ini merupakan stasiun paling ujung di jalur kereta api Secang-Parakan.
Stasiun ini dibuka pada tanggal 1 Juli 1907 oleh NIS dan dilengkapi dipo kereta
api dan otomotif, gudang, dll. Stasiun Parakan ini terletak tak jauh dari
stasiun Wonosobo, namun NIS dan Serajoedal Stoomtram Maatscappij (SJS), tak
berminat untuk menyambungkan kedua stasiun ini. Kemudian stasiun ini diambil
alih oleh Djawatan Kereta Api RI hingga tahun 1970-an stasiun ini tetap ramai
sampai akhirnya 1973 jalur ini secara resmi ditutup.
Parakan pada
zaman Belanda merupakan ibukota Kabupaten Menoreh yang kini menjadi kota
kecamatan. Di kota Parakan ini banyak sekali peninggalan-peninggalannya seperti
Kelenteng Hok Tek Tong, Toapekong yang dipuja adalah Hok Tek Tjeng Sin yang
dikenal dengan Dewa Bumi atau dalam bahasa Jawa Pepunden Baureksa Dharma Selamat.
Di kota Parakan ini sepanjang Jalan Bambu Runcing banyak dijumpai bangunan tua
berarsitektur Cina yang sekarang beralih fungsi menjadi gudang tembakau yang
masih berdiri kokoh, gedung bioskop dan rumah hunian. Di sinilah Cina Town
Parakan yang juga dikenal dengan adanya pendekar kungfu asli murid Shaolin Louw
Djing Tie yang terdampar di Parakan yang mengajarkan Kungfu.
Pada masa
Kolonial Belanda, masyarakat Parakan di bawah pimpinan Kiai Subkhi melakukan
perlawanan terhadap Belanda. Hingga kini nama Kiai Subkhi atau Subuki terkenang
dalam ingatan masyarakat Temanggung karena keampuhannya kebal tembakan. Keren
kan. Perlawanan kala itu hanya menggunakan bamboo runcing, oleh karena itu
diabadikan sebagai nama pondok ‘Kiai Parak Bambu Runcing’.
sumber gambar : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjj8mwPMBf7R0H_q_X2HzsGHVxqI4Pdbpj7XhAUbDXrmiecWOH2khTGOXQGdWKL3ewqmvgSQlH4ZduFVvyH8deciHdFfQm11YwXaH25iuh5Vjeo7VPLcxIDOZAlp5wbubNbceohFfVDBuM/s1600-h/temanggung.JPG
0 komentar:
Posting Komentar